FPR Sulsel saat turun ke jalan menggelar aksi damai dalam momentum Hari Tani |
Tirtaindonesia.com,
Makassar - Front Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan (FPR-Sulsel) yang terdiri
dari aliansi mahasiswa dan petani menggelar aksi damai dalam momentum
peringatan Hari Tani, Senin (28/9/2015).
Aksi ini dimulai
sekitar pukul 10.00 Wita dengan lokasi pertama di sekitaran Fly Over, Jl Urip
Sumoharjo-Jl AP Pettarani-Tol, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam aksinya,
mereka meminta pemerintah melakukan pengawasan terhadap tanah pertanian milik
petani. Sebab, beberapa lahan petani dinilai telah dirampas perusahaan
perkebunan.
“Kita ini
dihidupkan oleh petani. Jadi dalam momentum Hari Tani ini, kami meminta
pemerintah lebih memperhatikan kehidupan petani, terutama bagi kesejahteraan
dan lahan pertanian mereka yang kini banyak dialihkan untuk kepentingan
perusahaan,” ujar Koordinator Lapangan, Askar pada
orasinya di bawah Flyover.
Ia menilai,
banyak kasus perampasan tanah milik petani terjadi selama beberapa tahun
terakhir di Sulawesi Selatan. Misalnya, kata dia, yang dilakukan PTPN XIV PG di
Kecamatan Polongbangkeng Utara, Takalar dan PT. London Sumatera (PT Lonsum) di
Bulukumba.
FPR-Sulsel
menganggap keduanya melakukan praktek perampasan tanah milik dan kriminalisasi
terhadap warga melawan. Dalam tuntutannya, massa aksi meminta pemerintah
melakukan reformasi agraria. Juga meminta bupati Takalar untuk mengembalikan
tanah warga Polongbangkeng Utara yang telah dijanjikan 100 hektar (Ha).
Tuntutan tersebut kembali mereka sampaikan saat massa
menyambangi kantor PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) Sulawesi Selatan yang terletak
Jalan Urip Sumoharjo km. 4, Panakukkang Makassar. Kemudian massa bergerak
menuju kantor DPRD Sulsel. Selain mengangkat isu masalah petani, mereka juga
mengangkat isu bidang pendidikan.
Dalam orasinya, massa juga menegaskan, Negara harus hadir
sepenuhnya untuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia. Di bawah pemerintahan Jokowi-JK yang telah berlangsung kurang lebih
11 bulan, perubahan atas dunia pendidikan di Indonesia tidak juga dirasakan
rakyat. Malahan Pendidikan semakin mahal yang berbanding lurus dengan semakin sempitnya
akses rakyat atas pendidikan. (Ferdhy/Cj)