Posted by Diskusi Lepas
Setelah Perang Makassar usai (1669),
Wajo menolak menyerah. Setelah pengepungan Tosora, ibukota Wajo, setelah 3
bulan, Tosora pun runtuh (Desember 1670). Kekalahan perang menyebabkan banyak
orang Wajo kelaparan atau mati kelaparan. Hal ini mendorong migrasi
besar-besaran. Mulai yang terdekat, yaitu Enrekang, Luwu, Mandar, Kaili, atau
diseberang lautan macam Bima, Sumbawa, Paser, Kutai, Banjarmasin hingga
Selangor di semenanjung Malaysia.
Setelah perdamaian tercipta, migran
Wajo mulai menempatkan menempatkan diri di Makassar. Afiliasi politik dengan
Gowa di era Perang Makassar ditambahkan posisi penguasa Sulawesi Selatan saat
itu, La Patau Matanna Tikka sebagai Ranreng Tuwa di Wajo, menguatkan komunitas
Wajo di Makassar.
Sementara itu Arung Matowa Wajo
ke-30, La Salewangeng To Tenrirua (1715-1736), memfokuskan kebijakan selama
pemerintahannya pada penguatan ekonomi di Wajo. Selain mendirikan koperasi yang
mendukung munculnya para pedagang, beliau juga menjaga jejaring migran Wajo
diluar Wajo dengan pemerintah Wajo. Kebijakan itu terbukti mampu
"menstabilkan" kas negara yang terkuras pasca Perang Makassar.
Kebangkitan ekonomi komunitas Wajo
di Makassar, bukanlah terjadi seketika. Tetapi melewati proses yang konsisten
selama berpuluh-puluh tahun. Pemimpin komunitas disebut Matoa, mengikuti pada
jabatan komunitas pada struktur kerajaan di masa lalu. Matoa secara harfiah
berarti orang yang dituakan. Berikut ini daftar Matoa Wajo di Makassar
1. To Pabbuki' (1671 - 1676/1681), dari Bettempola
Di masanya, komunitas Wajo baru
memulai aktifitas perdagangan.
2. To Pakkalo (1676/1681 - 1697/1702), dari Menge (Tuwa)
Aktifitas perdagangan orang Wajo di
Makassar mulai meningkat dimasanya. Bahkan telah ada orang-orang kaya yang
muncul dari perdagangan yang memiliki perahu padewakkang. Hubungan
dagang dari Tosora berjalan lancar. Komuditas utama adalah kain.
Dimasanya juga dibangun langgar
untuk beribadah dan aturan pedagang Wajo serta kewajibannya pada Matoa.
3. La Patello
Amannagappa (1697 - 1723), dari Pallekoreng
(Talotenreng)
Kewajiban komunitas Wajo sebelumnya
ditambahkan menjadi tujuh poin. Jika terjadi pelanggaran hingga tiga kali maka
dihilangkan haknya untuk berdagang. Amanagappa menyempurnakan aturan yang
sebelumnya dibangun To Pakkalo.
Amanagappa dipanggil oleh Arumpone
(yang juga Ranreng Tuwa) menyampaikan keinginan Gubernur. Yaitu menempatkan
seseorang yang dapat dipercaya untuk mengepalai seluruh komunitas
pedagang di Makassar. Setelahnya, Amanagappa membuat persepakatan dengan Kapten
Cina (I Wakko kepala komunitas Tionghoa) dan Ance Cuka (kepala komunitas
Melayu).
Karya Amanagappa adalah Ade'
Allopi-loping na pabbicaranna pabbalu'e yang kurang lebih berarti
hukum pelayaran dan perdagangan.
![]() |
| La Pattello Amannagappa (dilukis oleh Mike Turusy) |
4. Amanna Moming (1723 - 1729), dari Menge (Tuwa)
Amanna Moming melanjutkan aturan
yang diterapkan oleh Amanagappa
5. To Tangnga (1730 - 1732), dari Sengkang
Seperti pendahulunya, Amannamoming,
To Tangga melanjutkan aturan Amanagappa. Ia juga menghukum dengan tegas
pelanggar aturan tersebut.
6. To Dawe' (1732 - 1735)
Di masanya, La Maddukkelleng Arung
Sengkang tiba dari Paser dan perang meletus. Ia menuju Tosora dan melibatkan
diri dalam peperangan. Ia kemudian gugur diantara Arateng dan Belawa.
Sepeninggal To Dawe, komunitas Wajo dipimpin pelaksana tugas Matoa yaitu Daeng
Sitaba.
- Daeng Sitaba (1735 - 1745) Pejabat
Matoa
7. To Patte' (1745-1753)
Arumpone Batari Toja memanggil Matoa
To Patte untuk menegur agar orang Wajo tetap memenuhi kewajiban pajak seperti
biasanya. To Patte' pun bersumpah untuk memenuhi hal tersebut.
8. La Nongko (1757-1572), dari Menge limpo Tuwa
Orang orang Wajo yang tersebar
dibeberapa kampung di Makassar, dipanggil dan dikonsentrasikan di kampung Wajo.
Hasilnya adalah berkembangnya pasar. Ia juga melanjutkan peraturan yang telah
diterapkan sebelumnya,
9. La Made Penna
Pada (1772 - ), dari Patila
Menjabat sebagai Matoa duabelas hari
setelah La Nongko dimakamkan. Ia berinisiatif memperbaiki mesjid. Setelah dana
dan material terkumpul, mesjid direnovasi selama 48 hari.
Sebelumnya, Arumpone memerintahkan
membangun istana di kampung yang dinamai Tessililu, kelak disebut Malimongeng.
Arumpone juga memerintahkan agar ditanam padi. 5 Juni 1775, Arumpone wafat dan
bergelar anumerta MatinroE ri Malimongeng. Jenazah Arumpone diusung oleh orang
Pammana dan Timurung untuk dimakamkan di Bontoala. Sebanyak 8 payung mengiringi
jenazah dan santri santri dari Wajo selama 10 hari bertahlil di istana.
10. Penna Esa
Selama menjabat
sebagai Matoa, ia sakit hingga meletakkan jabatan
11. To Kenynyang
Di masanya, Belawa diserang. Wajo
terpecah, sebagian melawan sebagian tetap bertahan. Karena tidak mampu
menyatukan komunitas Wajo, ia mengundurkan diri.
12. La Kaseng
Bone menyerang Sidenreng di masa La
Kaseng menjadi Matoa. Ia bersama orang Wajo ditugaskan menjaga Makassar.
Hartanya disita oleh orang orang yang berada dibawah kewenangannya, sehingga
menyebabkan Uwa'na Wewang tidak senang. Terjadi pertikaian yang menjadi sebab
untuknya mengundurkan diri sebagai Matoa.
13. La Koda (1811 - ?)
Cucu Penna Esa, La Koda berdarah
Wajo-Bone. Saat pertama diminta menjadi Matoa Wajo, ia menolak. Hingga Arumpone
yang memintanya menjadi Matoa dan akhirnya menerima.
Pernah Arumpone hendak meminjam uang
pada pedagang Wajo, namun ditolak. Arumpone marah dan melarang orang Wajo
berdagang di Makassar. Arumpone kemudian menyuruh membangun dinding Istana,
empang, dan jalanan.
Di masanya, terjadi perselisihan
antara Gubernur Inggris, Commander Phillips dengan Arumpone yang berakhir
dengan kekalahan Arumpone. Matoa Wajo diampuni dan dijadikan bagian dari EIC
(British East India Company). Terjadi perubahan dari Matoa menjadi
Kapten.
14. La Useng /
Husen La Wewang Daeng Mattone
(disarikan dari "The Wajorese
Merchants in Makassar" oleh J. Noorduyn, disadur dari http://www.diskusilepas.com)


