Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang dipimpin oleh Ketua Bawaslu Muhammad melakukan audiensi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat pada Rabu (12/8), di Ruang Delegasi MK. Dalam kesempatan itu, Muhammad menyampaikan maksud kedatangannya, yakni terkait penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) yang akan berpotensi memunculkan perkara perselisihan hasil.
Untuk itu, Muhammad dalam kesempatan itu ingin meminta penjelasan mengenai hukum beracara di MK terkait penanganan perselisihan hasil Pilkada. Dalam beberapa Peraturan MK, disebutkan bahwa Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) bisa menjadi saksi. “Kami ingin menegaskan sebenarnya fungsi Bawaslu sebagai saksi atau sebagai pengawas?” tanyanya.
Selain itu, Muhammad mengharapkan agar MK terus mengundang Bawaslu secara resmi dalam persidangan MK. Hal ini untuk menghindari adanya Panwaslu yang memberikan keterangan tanpa seizin Bawaslu dan berpihak pada salah satu pasangan. “Dalam Pilkada sebelumnya, MK selalu mengundang melalui Bawaslu RI, kami harapkan ini terus berlanjut, karena ada beberapa jajaran kami yang memberikan keterangan tidak atas izin Bawaslu dan justru memihak pada kepentingan tertentu,” terangnya.
Menanggapi hal tersebut, Arief yang didampingi Panitera MK Kasianur Sidauruk, mengakui intensitas konflik tertinggi di antara pemilihan umum yang ada di negara kita adalah Pilkada. Ia menerangkan konflik ini memungkinkan terpecahnya masyarakat di daerah tersebut. Terhadap hal itu, MK sudah melihat gejala awal seperti penentuan aturan mengenai Pilkada sampai proses pencalonan. “Ada hal yang rawan yang harus kita cermati apalagi ada disorientasi di tingkat elit. Orientasinya sudah sangat keliru dari maksud diselenggarakan menyelenggarakan Pemilukada. Selain itu adanya ketidakpercayaan di masyarakat, saya khawatir faktor ini menimbulkan pembangkangan di masyarakat dan para elit. Untuk itu perlu diwaspadai kondisi demikian,” ujarnya.
Terkait hal teknis, lanjut Arief, MK berinisiatif untuk mengundang lembaga terkait seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), bahkan peserta Pilkada dalam bimbingan teknis terkait penyelesaian hasil Pilkada. MK memperkirakan ada sekitar 300 perkara perselisihan hasil Pilkada yang akan ditangani MK. Estimasi waktu sidang, lanjut Arief, untuk setiap perkara hanya 5 jam karena undang-undang membatasi hanya selama 45 hari kerja. Untuk itu, MK berharap agar masalah Panwaslu yang terjadi di tataran bawah, bisa terselesaikan lebih dahulu.
“Misal untuk administratif sudah diselesaikan di sentra Gakkumdu atau Bawaslu. Sehingga kalau melihat kasus yang ada, MK harus membatasi hal terkait TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) karena MK akan menjadi Mahkamah Kalkulator seperti dalam UU, MK hanya menghitung hasil. Hal ini karena diperkirakan 45 hari untuk 300 perkara yang masuk, maka satu sidang hanya berjalan 5 jam saja. Itu tidak memungkinkan. Kalaupun benar ada pelanggaran pidana, ini bukan kewenangan MK,” tandasnya.(TI/mk)