oleh : Masrur Irsadi
Ada sejumlah persoalan fikih yang perlu dijawab ketika petugas kesehatan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Ya, penggunaan alat ini menjadi urgen sekali sejak mewabahnya Covid-19. Alasan para dokter dan petugas kesehatan menggunakan APD adalah untuk melindungi diri dari virus yang ditularkan, di antaranya lewat percikan cairan (droplet) dari mulut atau hidung.
Sementara, droplet yang membawa virus tersebut disebutkan punya potensi masih bisa hidup di udara bebas atau mungkin terkena di satu bagian anggota tubuh, pakaian, atau tempat-tempat yang pernah terkena droplet itu. Itulah mengapa para petugas kesehatan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
Beberapa waktu yang lalu, beredar satu gambar di sosial media dimana seorang petugas kesehatan di wilayah Irbil, Irak melaksanakan shalat dengan kondisi masih menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Dan kenyataannya itu tidak hanya terjadi di Irak tapi di banyak negara khususnya negara mayoritas muslim yang sedang terjangkit wabah.
Inilah yang akan coba dibahas dalam artikel ini, karena saat menggunakan pakaian khusus ini tentu menimbulkan sejumlah kendala yang tidak terjadi ketika kita berpakaian normal mulai dari kondisi yang tidak nyaman karena material pakaian yang begitu rapat membuat tubuh terasa gerah sampai kesulitan sekresi (pipis atau buang hajat).
Dan, masa berjaga setiap petugas kesehatan dengan menggunakan APD bisa sampai 8 jam, setelah itu pakaian langsung dibuang karena sudah terkontaminasi virus. Prosedur penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) tersebut sangat kompleks, jika dilepas maka seseorang harus mengulang prosedur sterilisasi sebelum penggunaan sehingga jika dia harus melepas APD untuk melaksanakan shalat, maka ia harus mengulang kembali proses sterilisasi dan menggunakan APD baru. Padahal, APD adalah salah satu yang langka saat ini sehingga banyak gerakan sosial untuk membantu melakukan pengadaan pakaian khusus ini.
Dari kenyataan tersebut, maka pertanyaannya apakah petugas kesehatan yang tidak memungkinkan untuk melepas APD selama masa piket shalatnya boleh dijamak? Kemudian, bagaimana jika saat menggunakan APD sebelum waktu shalat zhuhur misalnya, kemudian di waktu zhuhur ingin melaksanakan shalat namun kondisi sedang berhadas (wudhunya batal misalnya) dan tidak mungkin mengambil air wudhu atau tayamum, bolehkah shalat dalam keadaan tidak suci? Berikut ini cara ibadah tenaga medis saat menggunakan Alat Pelindung Diri (APD):
Cara Bersuci (Berwudhu) Pengguna APD
Saya akan mulai dari bersuci terlebih dahulu. Bagi para petugas kesehatan yang sudah menggunakan APD sejak sebelum waktu masuknya waktu shalat baik yang bisa dijamak (zhuhur-ashar ; maghrib-isya’) atau bukan (seperti subuh), maka yang lebih utama seseorang untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum menggunakan APD.
Namun, ketika sudah menggunakan APD, mulai bekerja lalu wudhunya batal dan tidak memungkinkannya untuk berwudhu, maka ia berada dalam kondisi Faaqidh at-Thohurayn (luput dari dua sarana mensucikan diri). Maka, shalat tetap dilaksanakan dan hukumnya tetap sah. Seperti disebutkan dalam fatwa MUI no. 17 tahun 2020, orang yang wudhunya batal maka tetap dapat melaksanakan shalat dan shalatnya sah.
Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari ‘Aisyah RA.
أنها استعارت من أسماء رضي الله عنها قلادة فهلكت – أي ضاعت – فبعث رسول الله صلى الله عليه رجالاً فوجدوها فأدركتهم الصلاة وليس معهم ماء فصلوا وشكوا ذلك إلى الرسول صلى الله عليه وسلم فأنزل الله آية التيمم. فقال أسيد بن حضير لعائشة: جزاك الله خيرا، فوالله ما نزل بك أمر تكرهينه إلا جعل الله ذلك لك وللمسلمين فيه خيرا
‘Aisyah pernah meminjam kalung dari Asma’ binti Abu Bakar lalu kalungnya hilang. Kemudian Rasulullah Saw. mengutus sejumlah orang untuk mencarinya. Lalu mereka menemukannya dan saat itu waktu shalat sudah tiba dan tidak ada air untuk berwudhu. Mereka lalu tetap melaksanakan shalat dan mengadukan soal itu ke Rasulullah Saw. Kemudian turunlah ayat tayammum. Usaid bin Khudair berkata kepada ‘Aisyah Ra.: “Semoga Allah membalas kebaikan padamu. Demi Allah, kejadian yang engkau tidak sukai ini malah menjadi sebab Allah menurunkan kebaikan kepadamu dan muslimin.
Imam al-Bukhari mengambil kesimpulan “hukum shalat orang yang tidak mendapati air atau tanah” dengan menggunakan hadis ini. Memang para ulama tidak satu suara dalam memahami hadis ini, seperti dirangkum oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Menurut al-Qaul al-Jadid Imam Syafi’i, shalat tetap dilaksanakan sekadar untuk memenuhi kewajiban di waktu tersebut (li hurmati al-waqti) namun setelah tidak ada kesulitan mengulang shalat dalam kondisi hadats tersebut.
Selain pendapat qaul jadid, pendapat ini juga menjadi salah satu pendapat Imam Malik dan pendapat Imam Ahmad menurut kebanyakan muridnya.
Pendapat kedua, mengatakan tetap melaksanakan shalat di saat itu tanpa mengulangi lagi (qadha’). Ini adalah pendapat al-Bukhari, pendapat yang kuat dalam mazhab Malik, Ahmad, Abu Tsaur, al-Muzani, dan disebut-sebut adalah pendapat lama (al-qaul al-qadim) Imam as-Syafi’i.
Pendapat ketiga, mengqadha’ shalat di waktu setelah tidak ada masyaqqah (kesulitan). Ini adalah pendapat at-Tsauri al-Awza’I, Abu Hanifah, dan disebutkan sebagai qaul qadim as-Syafi’i.
Pendapat terakhir yang mengatakan tidak perlu shalat dan tidak perlu mengulang di saat tidak ada kesulitan. Ini disebut-sebut adalah salah satu riwayat pendapat Imam Malik, sebagian Mazhab Zhahiriyah, dan diceritakan adalah riwayat Abu Tsaur. Pendapat terakhir, menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani adalah pendapat paling lemah.
Bagaimana jika saat mau melaksanakan shalat, sudah menggunakan APD, lalu pakaian terkena najis atau menjadi najis (karena misal, tidak tahan menahan kencing dan sebagainya), apakah tetap melaksanakan shalat ? Jawabannya tetap melaksanakan shalat namun harus mengulang shalatnya (I’aadah) saat sudah tidak mengunakan APD tersebut.
Bolehkah Menjamak Shalat?
Bagaimana dengan menjamak shalat saat menggunakan APD? MUI dalam Fatwa No. 17 Tahun 2020 menyatakan boleh untuk melakukan jamak shalat ketika waktu jaga petugas kesehatan berada di rentang waktu shalat yang bisa dijamak.
Meskipun, sebisa mungkin petugas kesehatan bisa melakukan jamak takdim saat waktu Dhuhur sudah tiba baru setelah itu bisa melaksanakan tugas jaga tanpa perlu mengkhawatirkan meninggalkan shalat Asharnya.
Dasar kebolehan menjamak shalat Dhuhur dan Ashar sebenarnya adalah pendapat dalam mazhab Ahmad yang membolehkan untuk menjamak shalat tidak dalam keadaan sakit atau perjalanan.
Dasarnya adalah hadis riwayat Ibn ‘Abbas RA bahwa Nabi SAW pernah menjamak shalat Dhuhur dan Dshar tanpa ada sebab rasa takut atau hujan,
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر في حديث وكيع. قال: قلت لابن عباس: لم فعل ذلك؟ قال: كي لا يحرج أمته، وفي حديث أبي معاوية قيل لابن عباس: ما أراد إلى ذلك؟ قال: أراد أن لا يحرج أمته.
Dari Ibn Abbas RA, beliau berkata: “Rasulullah menjamak antara Dhuhur dan Ashar lalu Maghrib dan Isya’ saat di Madinah bukan di dalam kondisi ketakutan atau karena hujan deras.” Dalam riwayat Waki’, dia berkata, “Aku bertanya pada Ibn ‘Abbas: kenapa beliau melakukan itu?” Ibn ‘Abbas menjawab, “Agar beliau tidak membuat umatnya dalam keadaan kesulitan.” Dalam riwayat Abu Mu’awiyah, Ibn ‘Abbas bertanya, “Kenapa beliau melakukan itu?” Ibn ‘Abbas menjawab, “Nabi ingin tidak menyusahkan umatnya”
Hadis di atas menjadi dasar bagi mereka yang membolehkan menjamak shalat tidak dalam perjalanan, atau dalam kondisi takut atau sakit. Ulama yang membolehkan menyebutkan ‘illat (sebab) kebolehannya adalah al-haraj atau kondisi yang sulit.
Selama ada kondisi sulit, di situlah menjamak shalat menjadi boleh. Meskipun tidak semua ulama setuju pendapat ini. Umar bin Khattab mengatakan kalau menjamak shalat tanpa ada kondisi uzur itu termasuk dosa besar. At-Tirmidzi juga punya riwayat tentang ini. Namun Imam An-Nawawi dalam Rawdhotu at-Thalibin mendasari dengan hadis diatas tentang kebolehan menjamak shalat dalam kondisi sulit (sakit atau jalan berlumpur sehingga kondisi perjalanan sulit).
المعروف في المذهب أنه لا يجوز الجمع بالمرض ولا الخوف ولا الوحل. وقال جماعة من أصحابنا: يجوز بالمرض والوحل. ممن قاله من أصحابنا: أبو سليمان الخطابي والقاضي حسين، واستحسنه الروياني. فعلى هذا يستحب أن يراعي الأرفق بنفسه، فإن كان يُحَمُّ مثلًا في وقت الثانية قدَّمها إلى الأولى بالشرائط المتقدمة، وإن كان يُحَمُّ في وقت الأولى أخرها إلى الثانية. قلتُ: القول بجواز الجمع بالمرض ظاهر مختار
Yang umum dikenal dalam mazhab Syafi’i, tidak boleh menjamak shalat karena sakit, merasa takut, atau terhambat karena jalanan berlumpur (sehingga sulit berjalan). Sebagian ulama mazhab Syafi’i mengatakan, “Boleh jamak shalat bagi orang sakit atau terhambat tadi. Yang berpendapat demikian: Abu Sulaiman al-Khattabi, al-Qadhi Husain. Ar-Ruyani menganggap baik pendapat ini. Maka atas dasar ini, dianjurkan untuk mempertimbangkan kondisi yang paling pas baginya. Maka jika sakit panas terjadi di waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isya’) maka jamak takdim dengan prasyarat yang sudah dijelaskan. Jika sakit panas terjadi di waktu shalat yang pertama (Dhuhur atau Maghrib) maka jamak ta’khir. Saya (Imam Nawawi) mengatakan: “pendapat yang membolehkan jamak dikarenakan sakit adalah pendapat yang jelas dan yang dipilih.
Maka, jika sakit saja dibolehkan, apalagi kenyataan orang yang menggunakan APD yang sulit berwudhu atau meluangkan waktu untuk melaksanakan shalat jika kondisi pasien sangat banyak, tentu sudah jelas sama dengan kondisi uzur. Dan yang lebih baik, bisa melakukan jamak takdim di waktu Dhuhur, sebelum penuh menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
Pada akhirnya, semua orang saat ini berharap agar kondisi yang berat ini segera berakhir. Semoga Allah SWT senantiasa merahmati semua orang yang telah berkontribusi untuk mencari jalan keluar permasalahan Covid-19 ini, sekaligus menjadi momen untuk kita memohon ampun kepada Allah SWT. agar segera diangkat penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obat spesifiknya.
Wallahu A’lam.