Notification

×

Iklan

Iklan

Most Popular Tags

Subsidi APBN Dapat Mencegah Politisasi Anggaran Pilkada

Selasa, 10 Maret 2015 | 09.20 WIB Last Updated 2015-04-06T15:16:25Z
    Share





Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota akan dilakukan perubahan oleh DPR. Perubahan UU tersebut akan mempengaruhi pengaturan dan sistem pemilu di Indonesia. Salah satu rencana perubahan yang dimaksud adalah masuknya subsidi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam anggaran pilkada serentak. Subsidi APBN tersebut diharapkan dapat mencegah politisasi anggaran yang sering terjadi dalam pilkada, terutama dalam kampanye pilkada.

Khusus mengenai dana kampanye dan audit dana kampanye pilkada, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ingin memberikan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Untuk itu, Perludem menggelar diskusi bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Kamis (5/3) di Media Centre KPU RI.

“KPU harus membuat sanksi terhadap pasangan calon yang tidak membuat laporan dana kampanye, tidak hanya bagi pasangan calon yang menang, tetapi juga pasangan calon yang kalah. KPU juga harus memberikan pembatasan pemasukan atau penerimaan sumbangan dana kampanye yang ukurannya dari besaran belanja dana kampanye,” tutur Ketua Perludem, Didi Suprianto.

Sementara itu, Peneliti ICW Donal Fariz mengungkapkan, peran strategis KPU dalam mencegah praktek tindakan korupsi, terutama menyangkut pelaksanaan pilkada. Apabila kandidat peserta pilkada berhutang kepada cukong-cukong pemilu dalam pembiayaan pilkada sebagai penyumbang dana, maka akses korupsi akan menjadi terbuka. Cukong-cukong tersebut akan mendekati kandidat yang berpotensi menang besar dalam pilkada.

“Pengumpulan dana kampanye dan belanja kampanye harus terbuka, mengingat belum adanya kesadaran utuh dari peserta pemilu, maka butuh upaya paksa dari penyelenggara pemilu dalam peraturannya. KPU harus mempersempit celah-celah yang bisa dimanfaatkan, hal itu dengan memantau pengumpulan dan belanja dana kampanye,” tutur Donal Fariz.

Donal menambahkan, KPU dan KPU di daerah bisa bekerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam hal tersebut. Hasil PPATK tersebut nantinya bisa disandingkan dengan hasil Kantor Akuntan Publik (KAP), sehingga akan terlihat apabila ada kecurangan. Kemudian apabila KPU memiliki keterbatasan kewenangan dalam memonitor rekening khusus dana kampanye (RKDK), hal tersebut dapat juga dilakukan oleh Bawaslu.

Kemudian Koordinator advokasi dan investigasi FITRA, Apung Widadi mengungkapkan konsep pilkada serentak ini adalah penghematan anggaran, sehingga aturan mainnya jangan sampai kontradiktif. Seperti subsidi dana kampanye dari APBN juga tidak boleh kontradiktif dan malah memboroskan keuangan negara. FITRA telah melakukan rekomendasi mengenai adanya tumpang tindih antara APBN dan APBD, karena dalam pilkada serentak ini ada beberapa item yang pembiayaannya memakai APBN.

“FITRA lebih mendorong penggunaan APBN, agar daerah tidak seenaknya mengalokasikan anggaran pilkada, padahal anggaran pendidikan dan kesehatan justru lebih rendah daripada anggaran pilkada. Subsidi APBN ini juga dilakukan dalam upaya menghilangkan politisasi anggaran, sehingga tidak ada lagi dana bantuan sosial atau bansos untuk pilkada, tidak ada lagi kepala daerah yang memanfaatkan celah ini, dan ini adil bagi seluruh peserta pilkada,” papar Apung Widadi.

Metode pembiayaan pilkada juga harus jelas, tambah Apung, bagian mana yang menggunakan APBD dan bagian mana yang menggunakan subsidi APBN. Apung mencontohkan, anggaran pelaksaan pemungutan suara pilkada menggunakan APBD, sedangkan khusus dana kampanye bisa dikelola KPU menggunakan APBN. Penggunaan APBN ini juga dapat mengurangi intervensi terhadap KPU di daerah, pengawasannya juga terpusat dan ada standar yang sama seluruh Indonesia.
(Arman)   Sumber Kpu.go.id