Jakarta - Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin merekam pembicaraan berisi dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo. Rekaman pembicaraan itu melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, Maroef Sjamsuddin, pengusaha Muhammad Reza Chalid.
Dalam rekaman pembicaraan yang beredar tersebut, sejumlah nama pejabat di Indonesia juga terseret, seperti Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan dan Deputi I Kantor Kepala Staf Kepresidenan Darmawan Prasodjo (Darmo).
Langkah Maroef merekam pembicaraan tersebut menuai apresiasi. Anggota DPR Fraksi Gerindra Martin Hutabarat menilai Maroef memiliki keberanian. Tapi, benarkah tidak ada maksud lain dibalik rekaman tersebut?
Rekaman tersebut patut diduga merupakan bagian dari upaya Freeport mengadu domba politikus di Indonesia. Hal itu erat kaitannya dengan perpanjangan kontrak di Indonesia yang akan berakhir 2021. Freeport berkepentingan untuk mengamankan bisnisnya di Tanah Air.
"Praktik-praktik bertemu dengan kelompok atau pihak di luar lembaga yang berkepentingan dengan perpanjang kontrak sudah lama dilakukan oleh Freeport sejak jaman orde baru. Tapi saya enggak berani bilang itu adu domba," kata Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara saat berbincang dengan Rimanews, Rabu (18/11/2015).
Seharusnya, kata dia, Freeport hanya berurusan dengan kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk urusan kontrak. "Seharusnya tradisi perpanjangan kontrak yang di masa lalu sarat dengan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) tidak perlu diulang lagi," ungkapnya.
Menurut Marwan, sulit untuk menilai bila Setya Novanto yang berinisiatif menemui Freeport. "Dilihat juga Freeport juga berkepentingan. Dalam laporannya Sudirman menyebut ada tiga kali pertemuan. Kalau satu kali pertemuan mungkin kita bisa menilai bahwa SN yang ngotot bertemu. Tapi kalau sampai tiga kali bertemu, bisa jadi Freeport juga yang ngotot bertemu," katanya.
Freeport, saat ini membutuhkan kepastian perpanjangan kontraknya di Indonesia. Sebab itu terkait dengan nilai investasi yang akan mereka keluarkan. Seharusnya, PT Freeport tak usah gegabah dengan menemui pejabat-pejabat di luar ESDM. Sebab, pemerintah sebenarnya sudah memberikan "lampu hijau" perpanjangan kontrak lewat Menteri Sudirman Said tertanggal 7 Oktober 2015.
Dalam surat tertanggal 7 Oktober itu tertulis, pemerintah telah menerima permohonan perpanjangan operasi PT Freeport Indonesia melalui surat tertanggal 9 Juli 2015. Asalkan, PT Freeport berkomitmen untuk menginvestasikan dana sebesar USD18 miliar untuk kegiatan operasi PT Freeport Indonesia.
Marwan melihat, surat tersebut memang belum berkekuatan hukum, sehingga Freeport masih ketakutan. Perusahaan asal Phoenix, Arizona itu membutuhkan kepastian perpanjangan kontrak karena tidak ingin rugi.
"Freeport harus mendapatkan kepastian tahun 2015 ini, karena bila tidak ada kepastian mereka akan berhitung. Kontrak mereka akan habis 2021, mereka diwajibkan membangun smelter dengan nilai investasi USD2,3 miliar dollar. Misalkan dibangun sekarang dan selesai 2017. Maka mereka hanya punya waktu mengeruk keuntungan hanya empat tahun 2017-2021," katanya.
Tentunya, secara bisnis hal itu merugikan perusahaan. Namun, bila Freeport mendapatkan kepastian perpanjangan kontrak dari 2021 hingga 2041 maka, Freeport bisa mudah mengembalikan nilai investasi yang telah ditanamnya di Indonesia.
Kata Marwan, wajar saja bila Freeport bergerilya untuk memuluskan perpanjangan kontrak. "Tapi sebaiknya sesuai prosedur yang berlaku, jangan malah menemui orang-orang di luar pihak yang berwenang seperti cara-cara yang mereka lakukan di masa lalu yang sarat KKN," katanya.
Sementara itu, pengamat hukum Margarito Kamis mengatakan, praktik adu domba yang dilakukan oleh perusahaan asing lumrah terjadi. "Saya tidak bisa menolak apabila ada orang yang menyebut adu domba. di negara-negara lain biasanya sering terjadi. Bikin kontroversi dulu baru kemudian memuluskan langkahnya," kata Margarito.
sumber : rimanews


